14 Juni 2009

TATEBAHAN (Sebuah Tradisi Unik dan Sakral di Desa Bugbug)


Kabupaten Karangasem banyak menyimpan kebudayaan dan tradisi yang unik dan sakral. Seperti misalnya di desa Tenganan, salah satunya yang terkenal adalah “Mekare-Kare” (perang pandan/megeret pandan), di desa Jasri ada yang disebut dengan “Ter-teran”(Perang Api). Di Seraya ada sebuah tradisi yaitu “Gebug Ende” Adegan dari ritual/tradisi tersebut kelihatannya berbahaya dan menakutkan, namun dibalik itu terkandung makna spiritual yang unik, sacral, magic ditinjau secara sekala dan niskala serta cukup menarik untuk ditonton. Ritual serupa yang tidak kalah menariknya adalah sebuah ritual(aci) yang terdapat di desa Bugbug yaitu ritual saling pukul memukul dengan memakai alat berupa pelepah daun pisang. Ritual (aci) ini dinamakan “ TATEBAHAN”.

Upacara TATEBAHAN secara khusus dilaksanakan setahun sekali, yang bertepatan pada rahina purwaning purnama sasih Jiyestha nuju beteng. Selain itu tradisi ini juga selalu diadakan dalam serangkaian aci besar di Bugbug seperti aci Gumang , dimana aci ini melibatkan masyarakat yang memiliki hubungan historis, dikenal dengan sebutan krama/masyarakat Catur Desa (Bugbug, Jasri, Bebandem, dan Ngis(Manggis)) serta saat Usaba Kaja yang melibatkan masyarakat Datah. Tujuannya disini adalah menjalin rasa persaudaraan dan persatuan antar warga sebagai ikatan dan jalinan tali kasih antar krama Catur desa dan krama Datah.

Secara khusus prosesi upacara TATEBAHAN umumnya dilakukan oleh krama laki-laki(baik tua maupun muda) bertempat di pura desa Bale Agung desa Adat Bugbug yang dilaksanakan pada pagi hari. Sebelum dilangsungkan upacara ini setiap Krama (masyarakat) Bugbug menyiapkan perlengkapan yang diperlukan seperti pelepah daun pisang (papah biu) sebanyak satu ikat kurang lebih 5 batang. Selain itu krama juga menyiapkan kayu bakar, kelapa, ketela pohon (Singkong), Sayuran, kacang-kacangan dan perlengkapan lainnya yang akan digunakan membuat gibungan berupa masakan tradisional yang terdiri dari singkong (sebagai pengganti nasi), sayuran, urap, kacang-kacangan, serta masakan tradisional lainnya. Perlengkapan dibawa pagi hari ke masing-masing banjar adat di Bugbug (ada 11 banjar Adat di Bugbug yaitu : Bancingah, Madya, Puseh, Garia, Segaa, Baruna, Dukuh Tengah, Dharma Laksana, Celuk, Asah, dan Samuh ), kemudian krama yang laki-laki secara langsung ngayah bersama-sama di masing-masing banjar adat menyiapkan perlengkapan dan gibungan yang berupa masakan tradisional dengan bahan pokok berupa Ubi Perahu (sebagai pengganti nasi), berisi sayuran, urap, lawar kacang, dan masakan tradisional lainnya. Setelah semuanya disiapkan, masakan tersebut terlebih dahulu dipersembahkan/dihaturkan sebagai sesajen, kemudian krama yang ikut ngayah bersama-sama megibung menikmati makanan tradisional tersebut. Uniknya disini adalah gibungan/makanan yang dihidangkan tanpa nasi dan daging, hanya berupa ubi, sayuran, urap, dan lawar kacang.

Tradisi dan ritual ini sungguh mencerminkan suatu kesederhanaan krama(masyarakat). Kemudian setelah itu warga berduyun-duyun mendatangi pura bale Agung sebagai tempat prosesi upacara, para petugas /prajuru desa menyiapkan untuk prosesi upacara. Nah disinilah adegan pukul memukul antara dua petarung dengan memakai pelepah daun pisang terjadi yang dilakukan secara adil dan bergiliran antar lawannya dengan diiringi oleh Gamelan. Sebelum dilaksanakan para peserta diperciki tirta. Busana yang dipakai oleh peserta adalah pakaian adat namun tidak memakai baju, untuk memudahkan dalam memukul. Bagian tubuh yang boleh dipukul adalah pada daerah punggung sampai leher. Uniknya seorang yang dipukul dengan pelepah daun pisang tidak merasakan sakit bahkan bergembira, bersorak sorai. Tidak ada rasa saling bermusuhan antar lawannya. Raut wajah kebahagiaan terpancar membahana pada masyarakat Bugbug, baik yang mengikuti maupun yang menonton. Prosesi upacara ini berlangsung agak lama. Setelah selesai saling pukul, para peserta diperciki tirta lagi untuk memohon ketenangan dan keselamatan.

Hakekat dari upacara ini adalah sebagai penolak bala dan penolak wabah penyakit serta diyakini oleh masyarakat dapat menyembuhkan suatu penyakit. Disamping itu ditinjau dari aspek social, upacara ini dapat memupuk rasa persatuan dan persaudaraan antar warga. Ritual ini sering ditonton oleh wisatawan asing. Inilah salah satu tradisi sebagai khasanah budaya daerah yang perlu dilestarikan agar tidak punah tertelan modernisasi.

oleh: Kade Radiana

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan masukkan komentar anda terkait dengan artikel yang dipilih!

Tools OnLine

 

STT. Dharma Bhakti | Copyright 2009 All Rights Reserved Revolution Two Theme by Brian Gardner | Converted into Blogger Template by Bloganol dot com | Edit Theme by ngayuhayu